Dalam perjalanan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi organisasi keagamaan yang besar dan berpengaruh, baik di Indonesia maupun di kancah internasional. Dengan jumlah warga yang begitu banyak, NU sering menjadi tempat berlabuh bagi berbagai kalangan. Mulai dari santri tulen yang setia pada tradisi pesantren hingga mereka yang nyeleneh pemikirannya, salah tingkah dalam perilakunya, atau hanya mencari sensasi demi kepentingan pribadi. Menariknya, banyak dari mereka juga mengidentifikasi diri sebagai bagian dari NU. Namun, pertanyaan penting yang perlu direnungkan adalah: Apakah semua yang mengaku NU benar-benar layak menisbatkan dirinya kepada NU? Garis Perjuangan NU: Identitas yang Jelas NU bukanlah sekadar organisasi yang dapat diidentifikasi melalui klaim atau atribut simbolik. NU adalah sebuah gerakan keagamaan yang memiliki garis perjuangan yang jelas dalam membumikan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Setiap anggotanya diharapkan tidak hanya mengenal identitas ini, tetapi juga memahami, mengamalkan, dan memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi inti dari keberadaan NU. Dalam hal akidah, NU mengacu pada ajaran dua imam besar Ahlussunnah wal Jama’ah: Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Kedua tokoh ini merumuskan dasar-dasar keimanan yang menyeimbangkan antara nash Al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang sehat. Hal ini memastikan keimanan yang kokoh, jauh dari penyimpangan dan ekstremisme, baik dalam bentuk liberalisme maupun radikalisme. Di bidang fikih, NU konsisten berpegang pada salah satu dari empat mazhab besar: Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap praktik ibadah umat Islam tetap otentik dan berlandaskan pada metode istinbat (pengambilan hukum) yang telah teruji oleh para ulama salaf. Pilihan ini juga menjadi upaya untuk menjaga kesinambungan tradisi ulama dan melestarikan keilmuan Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tasawuf dalam NU menekankan keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah. NU menisbatkan diri kepada ajaran Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Ghazali, yang menitikberatkan pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan hubungan yang mesra dengan Allah, tanpa melupakan syariat. Tasawuf ala NU adalah jalan spiritual yang bersih dari penyimpangan, menjunjung tinggi syariat, dan bertujuan murni untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mereka yang mengaku sebagai bagian dari NU harus memahami bahwa organisasi ini bukanlah sekadar bendera yang dikibarkan atau atribut yang dikenakan. NU adalah amanah yang menuntut tanggung jawab moral dan spiritual. Setiap perbuatan yang keluar dari koridor akidah, fikih, dan tasawuf yang dijunjung tinggi oleh NU bukanlah cerminan dari organisasi, melainkan tanggung jawab pribadi pelakunya. Oleh karena itu, menjadi bagian dari NU adalah komitmen untuk terus belajar, mengamalkan, dan menyebarkan Islam yang ramah, moderat, dan berlandaskan tradisi ulama. NU bukan sekadar nama, melainkan cahaya yang memandu umat dalam menjalani kehidupan beragama dengan benar, damai, dan penuh keberkahan. Semua Bisa Mengaku, Tapi Tidak Semua Diakui Dalam perjalanan sejarah, sering kita temui orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai bagian dari sesuatu yang besar, tetapi tidak selalu mendapatkan pengakuan dari pihak yang bersangkutan. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam bait syair Arab terkenal: وَكُلُّ يَدَّعِي وصْلاً بِلَيْلَى * وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا “Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila, tapi Laila tidak mengakui punya hubungan dengan mereka.” Bait ini relevan dengan fenomena yang sering terjadi dalam konteks keorganisasian, termasuk NU. Banyak orang mengaku sebagai bagian dari NU, namun pengakuan itu saja tidak cukup. NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki identitas dan prinsip yang jelas. Tidak semua yang mengaku sebagai bagian dari NU dapat dianggap mewakili NU, apalagi jika perilaku dan pemikirannya tidak sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi landasan NU. NU bukan sekadar identitas atau simbol yang dapat dicatut begitu saja. Menjadi bagian dari NU berarti memahami, mengamalkan, dan memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah. Prinsip ini mencakup keberpihakan kepada tradisi ulama salaf, penghormatan kepada ulama, serta komitmen terhadap kemaslahatan umat. Orang yang mengaku NU, tetapi tidak memahami dan mengamalkan prinsip ini, hanya akan menjadi beban bagi organisasi. Klaim tanpa dasar hanya akan menjadi bumerang yang merugikan diri sendiri dan nama besar NU. NU adalah rumah besar bagi umat Islam yang berhaluan moderat. Rumah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung, tetapi seperti rumah pada umumnya, ada aturan main yang harus dihormati. Salah satu aturan utamanya adalah loyalitas kepada tradisi, budaya, dan keputusan-keputusan organisasi yang didasarkan pada prinsip syura (musyawarah). Banyak yang merasa cukup mengklaim dirinya sebagai bagian dari NU hanya karena mengikuti satu dua ritual khas NU, seperti tahlilan atau maulidan. Padahal, ke-NU-an tidak hanya diukur dari aktivitas ritual, tetapi juga dari keberpihakan pada perjuangan organisasi, terutama dalam merawat tradisi, menjaga akidah, dan membela kepentingan umat. Mengaku-ngaku tanpa diiringi pemahaman dan kontribusi nyata bisa menjadi sumber perpecahan. Klaim kosong sering kali diiringi oleh niat untuk mencari legitimasi, sensasi, atau bahkan keuntungan pribadi. Mereka yang hanya menjadikan NU sebagai alat untuk tujuan tertentu tanpa memahami hakikat perjuangan NU, pada akhirnya akan kehilangan tempat di hati warga NU sejati. Menjaga NU dari Distorsi NU, sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keaslian ajaran Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah. Di tengah derasnya arus globalisasi, modernisasi, dan infiltrasi berbagai pemikiran yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai dasar NU, tantangan ini semakin nyata. Globalisasi membawa serta ideologi dan budaya baru yang dapat memengaruhi pemahaman masyarakat, termasuk warga NU. Modernisasi, di sisi lain, tidak hanya mengubah gaya hidup tetapi juga memengaruhi cara berpikir. Dalam situasi seperti ini, NU menghadapi ancaman distorsi ajaran, baik dari luar maupun dari dalam. Menjaga NU dari distorsi bukan hanya tugas para kiai atau pengurus organisasi. Setiap warga NU memiliki tanggung jawab untuk melestarikan nilai-nilai Aswaja. Hal ini dimulai dengan terus belajar, mengaji, dan memahami ajaran Islam secara mendalam sesuai panduan ulama salaf dan khalaf. Rutin menghadiri majelis taklim, memperkuat silaturahmi dengan ulama, dan aktif dalam kegiatan keagamaan di lingkungan masing-masing adalah langkah konkret yang dapat dilakukan. Selain itu, penanaman nilai-nilai Aswaja dalam kehidupan sehari-hari menjadi wujud nyata dari cinta kepada NU. Cinta kepada NU bukan sekadar slogan atau pengakuan, tetapi harus diwujudkan dalam amal nyata. Mereka yang mencintai NU akan menisbatkan dirinya kepada garis perjuangan yang telah digariskan oleh para pendiri organisasi ini, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Amal nyata itu meliputi pembelaan terhadap akidah Aswaja, penguatan ukhuwah Islamiyah, dan kontribusi aktif dalam dakwah sosial yang berlandaskan pada prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Pemahaman terhadap nilai-nilai ini harus terus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda yang lebih rentan terpapar pemikiran-pemikiran baru. Penutup NU adalah mercusuar Ahlussunnah wal Jama’ah. Ia berdiri di atas prinsip dan tradisi yang kokoh, yang diwariskan oleh ulama-ulama besar. Tidak semua orang yang mengaku NU dapat serta-merta diterima sebagai bagian dari NU. Hanya mereka yang berpegang teguh pada akidah, fikih, dan tasawuf sesuai garis perjuangan NU yang layak mendapatkan pengakuan itu. Semoga kita termasuk dalam golongan yang diakui, bukan sekadar mengaku. Penulis: Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan, Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pengurus Pusat Majelis Terapis Nusantara (PP Mantra). Post navigation Di Balik Nama dan Gelar: Makna di Balik Sebutan Menjaga Semangat Khidmah di NU: Refleksi dan Motivasi