Nama dan gelar adalah dua hal yang kerap menjadi identitas seseorang. Nama adalah pemberian pertama yang melekat pada individu sejak lahir. Ia merupakan simbol pengenalan, sebuah tanda unik yang membedakan satu orang dari yang lain. Di sisi lain, gelar adalah hasil dari pencapaian, pengakuan atas usaha, keahlian, atau status sosial tertentu yang diperoleh seseorang selama perjalanan hidupnya. Kombinasi antara nama dan gelar sering kali membentuk persepsi masyarakat terhadap individu tersebut. Nama adalah sesuatu yang sifatnya universal dan mendasar. Sejak lahir, seseorang telah diberi nama oleh orang tuanya, yang sering kali mengandung doa dan harapan. Dalam banyak budaya, nama dianggap sakral dan mencerminkan nilai-nilai keluarga atau agama. Seseorang yang memiliki nama baik cenderung dihormati oleh masyarakat, meskipun ia mungkin tidak memiliki gelar akademik atau sosial. Misalnya, seorang tokoh masyarakat yang dikenal karena kebijaksanaannya, seperti para ulama atau pemimpin adat, sering kali dihormati bukan karena gelar formal, tetapi karena kepribadian dan kontribusinya. Di sisi lain, gelar adalah simbol pengakuan atas usaha dan pencapaian seseorang dalam bidang tertentu. Gelar akademik seperti “Dr.” atau “Prof.” menunjukkan kompetensi seseorang dalam pendidikan tinggi, sementara gelar kehormatan seperti Kiai, Gus, Ustadz, Haji atau Raden mencerminkan status sosial atau religius. Gelar memberikan legitimasi dalam profesi tertentu. Misalnya, seorang dokter dengan gelar “Dr.” atau insinyur dengan gelar “Ir.” lebih mudah dipercaya karena masyarakat mengaitkan gelar tersebut dengan keahlian yang dimiliki. Namun, gelar juga bisa menjadi sekadar formalitas jika tidak didukung oleh integritas dan keahlian. Dalam beberapa kasus, seseorang dengan gelar tinggi tetapi perilakunya tidak mencerminkan kehormatan yang diharapkan justru kehilangan respek masyarakat. Nama yang Melampaui GelarSejarah telah mencatat banyak tokoh yang namanya begitu besar sehingga gelar mereka tidak lagi menjadi sorotan utama. Sebut saja Albert Einstein. Banyak orang mengenal nama Einstein sebagai simbol kejeniusannya dalam bidang fisika. Namun, berapa banyak yang tahu gelar lengkapnya? Einstein pernah meraih gelar Ph.D. dari Universitas Zurich, tetapi gelar itu nyaris tak pernah disebutkan ketika namanya disebut. Mengapa? Karena nama “Einstein” sendiri telah menjadi sinonim kehebatan ilmiah. Hal yang sama berlaku dalam tradisi keilmuan Islam. Nama-nama seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam al-Ghazali tak membutuhkan embel-embel gelar untuk menunjukkan keagungan mereka. Asy-Syafi’i dikenal sebagai seorang mujtahid besar dan pendiri mazhab fikih, sementara al-Ghazali dikenal sebagai Hujjatul Islam. Kita sering membaca dalam kitab-kitab, “qala asy-Syafi’i” (asy-Syafi’i berkata) atau “qala al-Ghazali” (al-Ghazali berkata). Gelar akademik atau formal bukanlah sesuatu yang relevan karena keilmuan mereka sudah jauh melampaui pengakuan duniawi. Nama mereka saja sudah cukup mewakili kehormatan dan otoritas. Gelar Sebagai PembedaDi sisi lain, ada pula tokoh-tokoh yang nama mereka terasa kurang kuat tanpa gelar yang menyertainya. Dalam hal ini, gelar menjadi identitas yang menambah nilai pada nama. Contohnya, di Indonesia, kita sering merasa tidak sopan jika menyebut nama seseorang tanpa gelarnya, seperti “Prof. Fulan” atau “KH. Fulan.” Hal ini terjadi karena nama aslinya dianggap terlalu umum atau biasa sehingga membutuhkan gelar untuk memberikan bobot penghormatan. Gelar seperti “Profesor,” “Doktor,” “Gus” atau bahkan “Kiai” adalah simbol prestasi, status, atau tradisi tertentu. Ketika kita menyebut seseorang dengan gelarnya, ada rasa penghormatan yang disampaikan. Namun, jika gelar tersebut tidak disebutkan, sering kali ada anggapan bahwa kita kurang menghormati orang tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, gelar adalah elemen penting untuk memperkuat identitas seseorang. Tanpa gelar, nama mereka terasa kehilangan esensi atau prestise yang telah mereka capai. Refleksi: Apakah Gelar Penting?Gelar akademik, jabatan, atau penghargaan sering kali menjadi salah satu simbol kesuksesan seseorang. Namun, pertanyaannya adalah, seberapa pentingkah gelar dalam menentukan martabat dan penghormatan seseorang? Pertanyaan ini menyentuh inti dari bagaimana seseorang ingin dikenal dan dihargai dalam kehidupan. Jika seseorang merasa tidak nyaman ketika gelarnya tidak disebutkan, hal ini dapat menunjukkan bahwa nama mereka masih membutuhkan dukungan dari gelar untuk mendapatkan penghormatan. Gelar menjadi semacam penopang yang membantu meningkatkan kepercayaan diri dan pengakuan dari orang lain. Namun, jika nama seseorang sudah cukup dikenal dan dihormati tanpa memerlukan gelar, hal ini menunjukkan bahwa nama tersebut telah mencapai level yang luar biasa. Penghormatan yang diterima datang dari kualitas pribadi, bukan dari atribut eksternal. Dalam Islam, kehormatan seseorang tidak diukur dari gelar, jabatan, atau kekayaan, melainkan dari akhlak dan amal perbuatannya. Rasulullah Muhammad SAW bersabda:“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim) Sabda ini menegaskan bahwa nilai sejati seseorang terletak pada hatinya yang bersih dan amalnya yang baik. Gelar atau status sosial hanyalah sementara, tetapi akhlak dan amal adalah warisan yang abadi di mata Allah dan manusia. Imam asy-Syafi’i, seorang ulama besar dalam Islam, pernah berkata, “Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu menjaga dirimu, sementara harta harus kau jaga.” Pernyataan ini relevan dalam konteks penghormatan terhadap seseorang. Ilmu dan amal yang mendalam akan menciptakan nama besar yang bertahan melampaui batasan waktu, sedangkan gelar formal hanya memberikan pengakuan sesaat. Ketika seseorang dikenal karena kontribusi ilmunya, keteladanan akhlaknya, atau dedikasinya kepada masyarakat, penghormatan itu akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu memaksakan penyebutan gelar. Refleksi untuk DiriSebagai individu, pertanyaan ini mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kita ingin dikenal oleh orang lain. Apakah kita mengandalkan gelar untuk dihormati, ataukah kita berusaha membangun nama baik melalui amal dan akhlak? Memang, gelar adalah pencapaian yang patut disyukuri dan dihargai, tetapi jangan sampai gelar menjadi satu-satunya identitas kita. Nama besar yang dihormati karena kontribusi nyata kepada umat manusia adalah tujuan yang lebih luhur daripada hanya sekadar mendapatkan pengakuan formal. KesimpulanNama dan gelar adalah dua aspek yang saling melengkapi dalam membangun citra seseorang. Meskipun gelar dapat memberikan pengakuan formal, nama yang baik dan perilaku yang terhormat tetap menjadi faktor utama dalam mendapatkan penghormatan sejati dari masyarakat. Pada akhirnya, kualitas pribadi dan kontribusi nyata seseorang adalah yang paling menentukan bagaimana ia dikenang oleh dunia. Penulis: Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan. Post navigation Jam Karet NU: Antara Tradisi dan Transformasi Di Balik Klaim NU: Membedakan Antara Cinta dan Catut