Dalam setiap organisasi atau kelompok masyarakat, kebiasaan-kebiasaan yang melekat sering kali membentuk budaya tersendiri. Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), salah satu kebiasaan yang sering dibicarakan, bahkan menjadi bahan gurauan, adalah kebiasaan “jam karet.”

Istilah jam karet ini biasanya menggambarkan kebiasaan terlambat dalam memulai acara, yang terjadi baik di kegiatan keagamaan, rapat organisasi, maupun acara-acara lainnya yang diselenggarakan oleh NU. Meskipun ini sering dianggap sepele atau bahkan dilegalkan sebagai “bumbu khas” kegiatan NU, kenyataannya budaya jam karet menyimpan sisi negatif yang justru bisa merugikan. Pertanyaannya, sampai kapan kebiasaan negatif ini akan tetap menjadi budaya? Dan mengapa kita, warga Nahdliyyin, perlu berubah?

Memahami Istilah “Jam Karet”

“Jam karet” adalah ungkapan yang sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Frasa ini merujuk pada kebiasaan atau kecenderungan untuk tidak menepati waktu yang telah disepakati dalam sebuah acara atau pertemuan. Waktu dalam istilah ini seolah-olah bisa “melar” seperti karet, tidak rigid, dan bisa diperlakukan seenaknya.

Di dunia internasional, terutama negara-negara maju, konsep jam karet adalah sesuatu yang dianggap tidak profesional dan kurang etis. Namun, di Indonesia, terutama di kalangan organisasi keagamaan seperti NU, budaya ini sudah hampir menjadi hal lumrah yang bahkan kadang dibanggakan.

Banyak warga NU yang melihat keterlambatan sebagai hal yang “maklum,” bahkan ada yang beranggapan bahwa kalau tidak terlambat, acara tersebut justru terasa “tidak afdal.” Misalnya, saat undangan sebuah acara tertera jam 08.00 pagi, peserta tahu bahwa kalau datang tepat waktu kemungkinan besar lokasi acara masih sepi. Bahkan, sering kali para panitia pun belum bersiap, dan acara mungkin baru benar-benar dimulai satu atau dua jam kemudian.

Dampak Negatif Jam Karet pada Citra NU

Tidak dapat dipungkiri, bahwa budaya “jam karet” seolah telah menjadi semacam “tradisi” dalam berbagai kegiatan NU. Sering kali terjadi keterlambatan dalam memulai atau menyelesaikan acara-acara resmi NU, dan meski ini mungkin terlihat sebagai hal sepele, dampaknya bisa jauh lebih besar, terutama di era digital yang serba cepat ini.

Di tengah arus informasi yang semakin pesat, segala bentuk aktivitas dan waktu acara mudah disebarluaskan hanya dalam hitungan detik. Sebuah acara yang molor bukan hanya mengganggu jadwal peserta, namun juga memberi kesan kurang profesional di mata publik, terlebih bagi generasi muda yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap ketepatan waktu. Dalam kasus NU, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, manajemen waktu yang kurang tepat dapat berpotensi mencoreng citra NU sebagai organisasi yang disiplin dan terorganisir.

Tidak hanya itu, kesan bahwa kegiatan NU tidak teratur dan sulit diprediksi bisa menciptakan stereotip negatif di kalangan masyarakat luar. Sebagian orang melihat keterlambatan dalam acara-acara NU sebagai kurangnya penghargaan terhadap waktu, baik bagi anggota yang terlibat maupun bagi hadirin yang sudah datang tepat waktu. Padahal, dalam Islam, menghargai waktu adalah bagian dari ajaran yang sangat dianjurkan. Sebagaimana dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Demi waktu…” (QS. Al-‘Asr), yang menunjukkan bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dikelola dengan baik.

Kondisi ini pada akhirnya juga bisa merugikan NU ketika ingin memperkuat posisinya sebagai organisasi yang dapat menjadi teladan bagi umat. Sebagai organisasi yang mengedepankan prinsip-prinsip keagamaan dan kebudayaan, NU diharapkan dapat menjadi contoh dalam etika manajemen waktu, baik bagi anggotanya sendiri maupun bagi masyarakat luas. Kedisiplinan waktu tidak hanya menunjukkan profesionalitas, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap NU sebagai organisasi yang mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Membangun Budaya Tepat Waktu di NU

Budaya “jam karet,” atau kebiasaan terlambat, sudah lama melekat dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam berbagai kegiatan organisasi. Di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), membangun budaya ketepatan waktu bukan sekadar soal disiplin, namun juga merupakan cerminan profesionalitas dan amanah dalam menghargai waktu. Meski tantangannya tidak kecil, budaya ini bisa berubah dengan kemauan dan usaha bersama. Berikut beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk membangun kebiasaan ketepatan waktu di kalangan warga NU:

Pertama, memberikan pemahaman tentang pentingnya ketepatan waktu, baik dari sisi agama maupun profesionalitas, perlu dilakukan secara konsisten. Panitia acara misalnya, bisa mengingatkan peserta bahwa datang tepat waktu adalah wujud dari menghargai amanah dan menunjukkan profesionalitas. Dari sisi agama, ketepatan waktu mencerminkan kedisiplinan yang diajarkan dalam Islam, sebagaimana Rasulullah SAW selalu menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Dengan pemahaman ini, peserta diharapkan termotivasi untuk lebih menghargai waktu dalam setiap kegiatan.

Kedua, agar budaya ketepatan waktu dapat terbentuk, perlu adanya aturan yang jelas dan ketegasan dalam menjalankannya. Jika sebuah acara dijadwalkan mulai pukul 08.00, panitia harus benar-benar memulai pada waktu yang telah ditetapkan tanpa menunggu peserta yang terlambat. Dengan demikian, peserta akan mulai menyadari bahwa ketepatan waktu adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan. Lama-kelamaan, kebiasaan ini akan membentuk kesadaran peserta untuk datang lebih awal atau tepat waktu.

Ketiga, mengapresiasi peserta yang datang tepat waktu adalah salah satu cara efektif untuk memotivasi peserta lainnya. Panitia acara bisa memberikan penghargaan kecil seperti ucapan terima kasih atau bahkan penghargaan simbolis bagi peserta yang hadir tepat waktu. Walaupun sederhana, langkah ini dapat memberikan kesan positif dan memotivasi orang lain untuk meniru sikap tersebut. Dengan adanya apresiasi, diharapkan budaya ketepatan waktu akan semakin terbangun.

Keempat, dalam menciptakan budaya ketepatan waktu, kesadaran pribadi dari setiap individu menjadi kunci utama. Setiap warga NU yang terlibat dalam kegiatan organisasi harus membangun kesadaran akan pentingnya manajemen waktu dan menyadari bahwa setiap menit adalah amanah yang harus dijaga. Jika setiap individu memiliki kesadaran ini, budaya menghargai waktu akan terbentuk secara otomatis. Manajemen waktu yang baik tidak hanya memberikan manfaat pribadi, tetapi juga membantu menciptakan kegiatan yang berjalan lebih efektif dan efisien.

Kelima, teladan dari pimpinan dan pengurus NU sangat penting dalam membangun budaya ketepatan waktu. Ketika pimpinan menunjukkan sikap disiplin dengan datang tepat waktu, anggota lain akan merasa segan untuk terlambat. Pimpinan dan pengurus NU yang mampu memberikan contoh positif akan menumbuhkan budaya yang lebih disiplin di kalangan anggota. Dengan contoh yang baik, ketepatan waktu akan lebih mudah diterima sebagai bagian dari budaya organisasi.

Kesimpulan

Jam karet dalam kegiatan NU bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diubah. Memang benar bahwa budaya ini telah melekat sejak lama, namun bukan berarti tidak bisa dihilangkan. NU, sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, perlu memimpin dengan memberikan contoh yang baik, salah satunya dalam hal kedisiplinan waktu. Setiap kegiatan yang dilakukan dengan tepat waktu akan membawa manfaat yang lebih besar dan membuat acara menjadi lebih efektif dan terstruktur.

Kita semua, sebagai warga Nahdliyyin, harus mengambil langkah aktif untuk menghentikan kebiasaan ini. Mari kita mulai dari diri sendiri dengan datang tepat waktu dan menghargai jadwal yang telah ditetapkan. Dengan begitu, kita bisa membangun budaya baru yang lebih positif, lebih profesional, dan lebih sesuai dengan ajaran Islam. Mari bergerak bersama, meninggalkan budaya jam karet, dan menjadikan NU sebagai organisasi yang tidak hanya dikenal besar, tetapi juga disiplin dan berkualitas tinggi.

Penulis: Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan, Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pengurus Pusat Majelis Terapis Nusantara (PP Mantra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *