Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bukan hanya sebuah wadah untuk melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga sebagai motor penggerak kemaslahatan umat. Perjalanan panjang NU sejak didirikan oleh para muassis (pendiri) hingga saat ini telah melalui berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Satu hal yang tidak berubah sejak awal berdirinya hingga sekarang adalah semangat totalitas dalam berjuang untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan. Para muassis NU, seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. Bisri Syansuri, adalah sosok-sosok yang dikenal memiliki totalitas perjuangan yang luar biasa. Mereka tidak hanya mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, bahkan harta pribadi untuk membesarkan NU dan memperjuangkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Totalitas mereka tercermin dari kerja keras tanpa pamrih, dari ikhtiar mendirikan pesantren, mengorganisir gerakan keagamaan, hingga mempertahankan kemerdekaan bangsa. Para pendiri NU rela meninggalkan kenyamanan pribadi demi terjun langsung dalam urusan keumatan, tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Ini adalah contoh nyata bahwa perjuangan di NU tidak semata-mata untuk mendapatkan penghargaan, melainkan murni untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umat. NU Sebagai Organisasi Nirlaba Sebagai organisasi nirlaba, NU tidak bertujuan untuk mencari keuntungan material. Sebaliknya, seluruh aktivitasnya berorientasi pada perjuangan di bidang agama, pendidikan, sosial, dan kemanusiaan. Namun, seperti halnya organisasi lainnya, NU membutuhkan biaya operasional untuk menjalankan berbagai program dan kegiatannya. Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi nirlaba, NU terus berupaya untuk memperkuat kemandirian organisasi, baik dalam hal finansial maupun pengembangan sumber daya manusia. Upaya ini dilakukan agar NU dapat terus mengabdi dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas tanpa harus tergantung sepenuhnya pada pihak lain. Ianah Syahriyah Sebagai Bentuk Infaq Perjuangan Secara sederhana, ianah syahriyah berarti bantuan bulanan, yang dalam konteks NU dijadikan sebagai infaq atau sumbangan rutin dari anggota. Bantuan ini merupakan bentuk kontribusi nyata para kader dan simpatisan NU untuk mendukung berbagai kegiatan organisasi, mulai dari pendidikan, dakwah, sosial, hingga kegiatan pemberdayaan masyarakat. Infaq ini tidak hanya sekadar sumbangan materi, tetapi merupakan manifestasi dari keikhlasan dan totalitas perjuangan para kader NU. Seorang pejuang NU memahami bahwa setiap amal jariyah yang dilakukan untuk kemajuan umat adalah bagian dari pengabdian kepada Allah. Maka, infaq ini menjadi ladang amal yang tidak hanya bermanfaat bagi penerimanya, tetapi juga mendatangkan keberkahan bagi yang memberikannya. Totalitas Perjuangan dalam Khidmat NU Berjuang di NU bukan hanya soal hadir dalam rapat, mengikuti kegiatan, atau bahkan berbicara di mimbar-mimbar. Perjuangan di NU membutuhkan totalitas pengabdian yang mencakup semua aspek kehidupan kita. Sebagai warga NU, kita diharapkan mampu berjuang dengan berbagai potensi yang kita miliki, di antaranya: Berjuang dengan Tenaga: Aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, mulai dari kegiatan sosial hingga program keagamaan, adalah salah satu bentuk perjuangan dengan tenaga. Kehadiran fisik di tengah masyarakat menjadi sarana untuk menebar manfaat. Berjuang dengan Pikiran: NU memerlukan kader-kader yang cerdas dan berwawasan luas untuk mengembangkan strategi, merumuskan kebijakan, serta menyusun program-program yang relevan dengan kebutuhan umat. Setiap ide, gagasan, dan solusi yang disumbangkan adalah bagian dari jihad intelektual. Berjuang dengan Waktu: Meluangkan waktu untuk berkhidmat di NU, menghadiri kegiatan, mengatur program, dan melakukan pelayanan kepada umat merupakan bentuk perjuangan yang tak kalah penting. Waktu adalah sumber daya yang berharga, dan menggunakannya untuk kepentingan umat adalah bukti dedikasi kita. Berjuang dengan Harta: Dalam hal ini, ianah syahriyah menjadi representasi konkret dari perjuangan dengan harta. Harta yang kita keluarkan untuk mendukung perjuangan NU bukan hanya sebatas sumbangan material, tapi juga sebagai investasi akhirat yang tak ternilai. Kontribusi harta ini bukanlah sekadar angka atau nominal, tetapi merupakan wujud cinta dan keikhlasan dalam mendukung organisasi yang terus berjuang untuk kemaslahatan umat. Setiap rupiah yang diberikan melalui ianah syahriyah akan digunakan untuk membiayai berbagai program dakwah, sosial, pendidikan, hingga pengembangan kaderisasi di tubuh NU. Pentingnya Kesadaran Kolektif Ianah syahriyah sebagai infaq perjuangan memiliki dampak yang luar biasa jika dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota dan simpatisan NU. Dengan kesadaran akan pentingnya ianah syahriyah, setiap anggota bisa turut berpartisipasi dalam mendukung setiap program organisasi. Ini bukan hanya soal jumlah yang diberikan, tetapi soal keberlanjutan dukungan yang diberikan secara konsisten. Dalam perjuangan, NU tidak bisa hanya mengandalkan segelintir orang saja. Seluruh elemen organisasi harus bersinergi, termasuk dalam hal finansial. Dengan demikian, ianah syahriyah tidak hanya menjadi simbol kemandirian organisasi, tetapi juga menunjukkan bahwa NU memiliki kekuatan besar yang bersumber dari gotong royong seluruh anggotanya. Perjuangan dalam NU adalah perjuangan totalitas, yang melibatkan segala potensi yang dimiliki setiap kader. Ianah syahriyah adalah salah satu wujud konkret dari totalitas tersebut, di mana setiap anggota berkontribusi dengan harta sebagai bagian dari perjuangan di jalan Allah. Infaq ini bukan hanya simbol dukungan finansial, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa setiap kader siap berjuang dengan seluruh potensi yang dimiliki—tenaga, pikiran, waktu dan harta—demi kelangsungan perjuangan NU untuk umat. Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan Post navigation NU di Persimpangan Jalan: Refleksi atas Dinamika Kelompok dalam Sejarah Islam Resolusi Jihad: Tonggak Sejarah Perjuangan Santri dalam Membangun Indonesia