Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi, termasuk dalam hal menyebarkan ajaran agama. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki peran besar dalam menjaga ajaran Islam yang damai dan toleran.

Kini, peran tersebut juga merambah ke ruang digital, di mana warga NU yang aktif di dunia maya—yang disebut sebagai nitizen NU—memiliki potensi besar untuk menjadi agen penyebar nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Mereka tidak hanya mewakili identitas ke-NU-an di jagat digital, tetapi juga membawa misi mulia untuk menebar kebaikan kepada umat Islam maupun non-Muslim melalui konten yang mencerahkan, edukatif, dan inspiratif.

Keberadaan nitizen NU bukanlah semata bagian dari perkembangan zaman, tetapi sebuah kebutuhan strategis dalam menjawab tantangan era informasi. Media sosial kini telah menjadi arena baru dakwah, tempat persemaian opini, serta ladang pengaruh yang sangat luas.

Dalam konteks ini, nitizen NU dituntut untuk hadir sebagai penyeimbang dan penjernih narasi-narasi keagamaan yang sering kali dibumbui kepentingan politik, kebencian, atau pemahaman yang menyimpang dari nilai-nilai luhur Islam. Maka dari itu, penguatan peran nitizen NU menjadi sangat penting agar ruang digital tidak dikuasai oleh kelompok intoleran yang mengatasnamakan agama.

Membangun Kesadaran Keagamaan dan Menyebarkan Kebaikan

Salah satu kontribusi penting nitizen NU di media digital adalah membangun kesadaran keagamaan yang sehat di tengah masyarakat. Melalui unggahan-unggahan yang menginspirasi, video ceramah yang menyejukkan, dan narasi yang menggugah, nitizen NU dapat menghidupkan semangat umat Islam untuk menjalankan ajaran agama secara bijaksana, santun, dan penuh kasih sayang.

Kesadaran ini tidak hanya penting bagi kaum Muslim, tetapi juga memberikan gambaran positif kepada non-Muslim tentang ajaran Islam yang sebenarnya: ajaran yang cinta damai dan menghargai kehidupan.

Lebih dari itu, media digital menjadi lahan subur untuk menyemai kebaikan. Nitizen NU dapat menyebarkan informasi mengenai kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang dilakukan oleh NU dan berbagai lembaga di bawah naungannya.

Misalnya, penggalangan dana untuk korban bencana, bantuan untuk kaum dhuafa, santunan anak yatim, serta kegiatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Konten semacam ini bukan hanya menunjukkan wajah Islam yang peduli terhadap sesama, tetapi juga menumbuhkan solidaritas lintas agama dan budaya.

Menyebarkan kebaikan juga berarti menjadi peredam kebencian. Ketika nitizen NU membagikan kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh ulama Nusantara yang menebar rahmat kepada semua golongan, hal itu dapat menjadi contoh nyata bagaimana Islam Nusantara mampu bersinergi dengan kebudayaan lokal tanpa kehilangan esensinya. Inilah bentuk dakwah kultural yang sangat relevan dalam konteks masyarakat yang majemuk.

Peran nitizen NU dalam menyuarakan kedamaian juga terlihat dari cara mereka berinteraksi di dunia maya. Komentar yang santun, tidak mudah terprovokasi, dan bijak dalam menyikapi perbedaan adalah bentuk nyata dari keteladanan digital. Mereka menyampaikan ajaran dengan penuh kasih, bukan dengan ancaman dan ketakutan. Hal ini sangat penting untuk membangun ekosistem digital yang sehat dan mencerahkan.

Mengedukasi dan Mengkonter Narasi Intoleran

Selain menyebarkan kebaikan, nitizen NU juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi yang benar tentang Islam. Banyak masyarakat awam, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, yang belum memahami ajaran Islam secara komprehensif.

Di sinilah peran nitizen NU untuk menyampaikan konten-konten yang menjelaskan prinsip-prinsip Islam yang toleran, adil, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Dengan menyajikan informasi keislaman yang benar dan mudah dipahami, mereka dapat meredam kesalahpahaman terhadap Islam dan menjembatani dialog antaragama.

Namun, tugas edukasi ini tidak lepas dari tantangan. Dunia maya saat ini dipenuhi oleh narasi-narasi intoleran yang menghasut dan memecah belah. Banyak konten keagamaan yang disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, nitizen NU harus mampu menjadi garda terdepan dalam mengkonter konten semacam itu dengan cara yang cerdas dan efektif.

Mereka perlu dilatih untuk memiliki literasi digital yang tinggi, agar dapat membedakan antara informasi yang benar dan hoaks, serta antara pesan yang membangun dan yang merusak. Kejelian dalam menyaring informasi sangat penting agar tidak menjadi bagian dari penyebaran konten destruktif. Pendidikan ini juga mencakup kemampuan dalam merancang konten tandingan yang informatif, menyentuh hati, dan dapat diterima oleh semua kalangan.

Dalam menyikapi narasi intoleran, penting bagi nitizen NU untuk tetap menggunakan bahasa yang santun dan tidak terprovokasi. Perdebatan yang dilakukan dengan kepala dingin akan jauh lebih efektif daripada balasan yang emosional. Ini sesuai dengan prinsip dakwah Nabi Muhammad yang selalu mengedepankan kelembutan dalam berdialog, sebagaimana dalam firman Allah:

ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Artinya: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”. (QS. An-Nahl: 125).

Strategi lain yang bisa diterapkan adalah menyajikan keteladanan dari para ulama yang telah terbukti mengamalkan Islam secara rahmatan lil alamin. Tokoh-tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia dan pluralisme, dapat dijadikan ikon dalam dakwah digital. Dengan menghadirkan teladan nyata, masyarakat akan lebih mudah menerima dan meneladani nilai-nilai yang diajarkan.

Penutup

Nitizen NU adalah harapan baru dalam perjuangan menyebarkan Islam yang ramah, santun, dan toleran di tengah arus informasi yang semakin cepat dan kompleks. Melalui dua peran pentingnya—yakni membangun kesadaran keagamaan dan mengedukasi masyarakat untuk melawan narasi intoleran—nitizen NU telah dan akan terus menjadi kekuatan strategis dalam menjaga marwah dakwah Islam rahmatan lil alamin di dunia digital.

Untuk itu, pelatihan, pendampingan, dan dukungan dari lembaga-lembaga NU perlu terus digalakkan agar mereka mampu menjalankan peran ini dengan lebih maksimal dan profesional. Ketika dakwah digital dijalankan dengan strategi yang tepat, akhlak yang mulia, dan ilmu yang memadai, maka bukan tidak mungkin media sosial akan menjadi ladang pahala dan sarana perubahan sosial yang lebih baik.

Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *