Oleh: Zainal ArifinKetua LTN MWCNU Kraksaan “Wa’malû fainna Allâha yarâ ‘amalakum” — Beramallah kalian, karena sesungguhnya Allah melihat amal kalian. (QS. At-Taubah: 105) Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), kata khidmah bukanlah istilah asing. Ia menjadi napas perjuangan, jiwa dari segala gerak pengabdian kepada umat. Namun, perlu disadari bahwa khidmah itu tidak selalu mudah. Bahkan, khidmah itu seperti iman: yazidu wa yankusu — terkadang naik, terkadang turun. Semangat dalam berkhidmah kadang membuncah, kadang pula redup. Di saat awal, kita penuh gairah, tapi di tengah jalan, sering kali dihadang rasa jenuh, capek, bahkan malas. Semua itu manusiawi. Justru dari sanalah kita diuji: apakah khidmah ini murni karena cinta, atau sekadar ikut-ikutan? Berbeda dengan pekerjaan yang menawarkan imbalan materi, khidmah di NU nyaris tak menjanjikan apapun secara duniawi. Bahkan sering kali, pengurus merogoh kocek sendiri untuk kegiatan organisasi. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Karena khidmah di NU adalah ibadah. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.” (HR. Ahmad) NU adalah organisasi besar yang dibangun dengan ketulusan para kiai, ulama, dan pejuang sejati. Kita mewarisi perjuangan yang dilandasi akidah, cinta tanah air, serta semangat menebar rahmat. Maka, selama perjuangan kita sejalan dengan nilai-nilai itu, sejatinya kita sedang berkhidmah untuk NU, meski tidak tercatat secara struktural. KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan:“Barangsiapa yang mengurus NU, niatnya karena Allah, berkhidmah untuk Islam, Ahlussunnah wal Jama’ah, dan umat, maka kelak akan aku anggap sebagai santriku.” Kutipan ini bukan sekadar pesan spiritual, tapi juga motivasi besar. Berkhidmah di NU bukan sekadar kerja sosial, tapi cara untuk terkoneksi dengan sanad perjuangan para ulama salaf. Menjadi pengurus NU adalah anugerah dan amanah. Tidak semua orang diberi kesempatan itu. Maka, saat kita dipercaya menjadi bagian dari struktur, jangan disia-siakan. Karena siapa tahu, dari situlah Allah menurunkan keberkahan hidup kita. KH. Wahab Chasbullah berkata:“NU itu rumah besar, yang bisa memayungi siapa saja. Maka jagalah rumah ini, khidmahlah dengan penuh cinta, bukan ambisi.” Malas itu wajar. Tapi membiarkan rasa malas menguasai diri adalah celaka. Apalagi jika kemalasan kita mempengaruhi semangat pengurus lain. Jangan sampai kita menjadi sumber lesunya organisasi. Sebaliknya, jadilah penyemangat yang menularkan energi positif ke sekeliling. “Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya.” (HR. Muslim) Semangat itu bisa menular. Energi positif bisa menyebar seperti virus, membangkitkan ruh organisasi yang sempat lesu. Maka, ciptakan lingkungan khidmah yang sehat. Jangan biarkan pengurus merasa bekerja sendiri, merasa tidak dianggap, atau merasa tidak penting. Ingatlah, bahwa pengabdian yang kita lakukan hari ini, adalah bagian dari mata rantai panjang perjuangan ulama. Kita tidak sedang membangun dari nol. Kita hanya meneruskan jejak para muassis NU, yang telah meletakkan dasar-dasar perjuangan dengan air mata dan darah. KH. Bisri Syansuri pernah mengingatkan:“Jangan takut tidak dikenal manusia, takutlah jika tidak dikenal oleh Allah karena tidak berkhidmah untuk agama-Nya.” Di era digital ini, tantangan khidmah bertambah. Bukan hanya soal waktu, tapi juga konsentrasi. Notifikasi media sosial, konten yang mengganggu fokus, hingga gaya hidup instan menjadi musuh tersembunyi. Maka, kita harus punya kendali diri agar tak tenggelam dalam hal-hal yang melalaikan. Khidmah membutuhkan waktu, tenaga, dan hati. Oleh karena itu, manajemen waktu menjadi penting. Jangan sampai aktivitas dunia kerja menghabiskan seluruh energi kita hingga tak bersisa untuk umat. Jika lelah, istirahatlah. Tapi jangan menyerah. Khidmah bukan lomba cepat-cepatan, tapi soal konsistensi. Jika mulai jenuh, kembalilah pada niat awal: lillahi ta’ala. Karena hanya dengan niat yang lurus, semangat akan terus menyala. Selalu buka ruang untuk evaluasi diri. Sudahkah aku hadir saat organisasi butuh? Sudahkah kontribusiku bermakna? Jika belum, maka benahi perlahan. Yang penting bukan seberapa banyak kita bicara, tapi seberapa besar kita memberi manfaat. Berkhidmah bukan ajang mencari pujian. Jika pujian yang kita kejar, maka kita akan cepat lelah. Tapi jika keikhlasan yang menjadi dasar, maka khidmah akan terasa nikmat, meski tak ada yang tahu apa yang kita kerjakan. Milikilah sahabat khidmah. Orang yang bisa mengingatkan saat kita mulai goyah, dan menyemangati saat kita mulai lelah. Jangan bertahan sendirian. Dalam NU, khidmah adalah kerja kolektif, kerja berjamaah. Kita harus sadar bahwa khidmah adalah bagian dari jihad zaman ini. Bukan jihad dengan senjata, tapi jihad dengan ilmu, waktu, tenaga, dan pikiran. Maka mari kita istiqamah dalam perjuangan ini, sekecil apapun peran yang kita jalani. “Man ‘amila shalihan fali nafsih — Barang siapa berbuat baik, maka sesungguhnya itu untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-Jatsiyah: 15) Berlelah-lelah di jalan khidmah tidak akan sia-sia. Setiap langkah, setiap pikiran, setiap keputusan, selama diniatkan karena Allah dan demi kemaslahatan umat, akan menjadi saksi di akhirat kelak. Maka teruslah mencintai NU. Jangan pernah menyerah. Meski jalan terjal, meski langkah terseok, selama kita tetap dalam barisan, insyaAllah kita akan sampai pada tujuan yang sama: rida Allah dan berkah dunia akhirat. Akhirnya, mari kita jadikan khidmah sebagai gaya hidup. Bukan sekadar kewajiban, tapi kebutuhan rohani. Karena khidmah bukan hanya membentuk organisasi, tapi juga membentuk jiwa. Post navigation Di Balik Klaim NU: Membedakan Antara Cinta dan Catut